INTERELASI ISLAM DAN JAWA DALAM SASTRA DAN WAYANG
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.SI
Disusun Oleh :
Fatchul Amar (113211081)
Nurul Husna (123111129)
Nur Faizah Rahmawati (123311035)
Wisnu Deni Kresnawati
(103911060)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Istilah
sastra Jawa
secara praktis diartikan sebagai suatu bentuk aktifitas tulis menulis dari para
pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup
budaya Jawa. Kebudayaan ini memiliki elemen-elemen amat majemuk yang berakar
pada etika, agama-agama yang berkembang dalam masyarakat Jawa.
Selain
sastra, salah satu bagian yang khas dari proses perkembangan budaya di Jawa
adalah wayang. Bicara tentang esensi budaya Jawa dapat dirumuskan dalam satu
kata wayang. Hal ini seolah-olah
sudah menjadi dalil bagi para pakar budaya Jawa. Mempelajari dan memahami
wayang merupakan syarat yang tan keno ora
untuk menyelami buadaya Jawa. Baik etos Jawa, maupun pandangan hidup Jawa,
tergambar dan terjalin dengan baik dalam wayang.
Pada
kesempatan kali ini, pemakalah berusaha menjelaskan sekilas mengenai interelasi
nilai Jawa dan Islam dalam aspek sastra dan pewayangan yang sedikit banyak akan
dituliskan dalam makalah ini. Harapannya,
semoga sedikit tulisan ini bisa menambah pengetahuan serta ilmu bagi para
pembaca.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa pengertian sastra dan apa saja jenis-jenis
sastra itu?
B.
Bagaimanakah gambaran karya sastra di Jawa?
C.
Bagaimana interelasi Islam dan Jawa dalam
karya sastra?
D.
Bagaimanakah
sejarah pewayangan?
E.
Apa
sajakah jenis-jenis wayang dan unsur-unsur apa sajakah yang ada dalam
pertunjukkan wayang?
F.
Bagaimana perpaduan seni Islam dan jawa serta bagaimanakah interelasi Islam dan Jawa dalam wayang?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Jenis-Jenis
Sastra
Kata ‘sastra’ dalam
bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta, yakni sas yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk/instruksi,
dan tra yang berarti alat, atau
sarana, sehingga sastra berarti alat untuk mengajar.
Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif
yang terkait dengan hal-hal yang tertulis maupun tercetak, termasuk karya
sastra lisan. Istilah sastra jawa secara praktis diartikan sebagai suatu bentuk
aktifitas tulis menulis dari para pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai
dan pandangan hidup dalam lingkup budaya Jawa. Kebudayaan ini memiliki
elemen-elemen amat majemuk yang berakar pada etika, agama-agama yang berkembang
dalam masyarakat Jawa.
Amatzaki mengemukakan bahwa jenis-jenis
sastra meliputi;
1. Karya
sastra yang berbentuk prosa
Prosa
lebih dekat dengan pemaparan, dalam sebuah pemaparan dikatakan mengandung nilai
karya sastra karena di dalam pemaparan terdapat deretan peristiwa yang
disampaikan dalam rangkaian kalimat yang membentuk sebuah wacana, tidak
berbentuk bait dan baris.
2. Karya
sastra yang berbentuk puisi
Herman
J. Walujo mengemukakan bahwa puisi sebagai bentuk kesusastraan yang paling tua.
Karya-karya besar dunia seperti Oedipus,
Hamlet, Mahabarata, Ramayana dan sebagainya ditulis dalam bentuk puisi.
3. Karya
sastra yang berbentuk drama
Karya
sastra yang berbentuk drama ditentukan dengan adanya dialog antar tokoh dan
dapat dinikmati melalui sebuah pementasan.
B. Gambaran Karya Sastra di Jawa
Telah diuraikan bahwa puisi merupakan
karya sastra yang paling tua, demikian pula karya sastra yang ada di Jawa,
puisi merupakan karya sastra yang paling tua yang lazim disebut dengan mantra.
Setelah mantra, muncul karya sastra yang lain, diantaranya parikan dan wangsalan.
Setiap tradisi di setiap suku bangsa
Indonesia memiliki konsep bagaimana orang berhubungan dengan hal-hal gaib
seperti mantra. Selain mantra, karya sastra yang berbentuk puisi di Indonesia
adalah pantun dan syair. Pantun dan syair menunjukan ikatan yang kuat dalam
strukutur kebahasaan.
Dalam tradisi budaya Jawa, karya sastra
yang menyerupai pantun dan syair adalah parikan
dan wangsalan. Parikan merupakam
puisi berupa pantun model Jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua baris yang
lazim disebut dengan sampiran. Sementara itu, dalam wangsalan, dua baris
pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan teka-teki yang akan
terjawab pada unsur-unsur isinya.
C.
Interelasi
Islam dengan Karya-Karya Sastra Jawa
Bentuk puisi yang dipakai dalam membuat karya-karya
sastra para pujangga kraton Surakarta adalah puisi Jawa yang memiliki metrum
Islam, yaitu Mijil, Kinanthi, Pucung, Sinom, Asmaradana, Dhandhanggula,
Pangkur, Maskumambang, Durma, Gatruh, dan Megatruh. Tembang-tembang macapat yang
berbentuk puisi Jawa itu mengandung nilai sastra. Alasannya puisi pada
hakikatnya adalah karya sastra, dan bersifat imajinatif. Maksud dari
keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang
sifatnya imperatif moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan warna
keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra tersebut.[1]
Dengan unsur-unsur keislaman yang terdapat dalam
literatur-literatur Araba tau Arab Kejawen (pegon) kemudian digubah ke dalam
bahasa dan sastra Jawa serta dipadukan dengan alam pikiran Jawa. Perpaduan antara
unsur-unsur Islam dan Jawa itu membuahkan karya-karya baru. Masa ini ditandai
dengan terbitnya karangan-karangan baru dalam kesusastraan Jawa baru. Oleh
karena itu, sistem yang ditempuh oleh keluarga-keluarga istana Surakarta dan
calon pujangga kesusastraan Jawa baru biasanya melalui pesantren dan
mempelajari kitab-kitab kesusastraan Jawa lama.[2]
D.
Sejarah Pewayangan
Menurut
Robert Von Helne Geldern dan K. A. H. Hiding wayang sebagaimana yang dikenal
sekarang ini merupakan sebuah warisan budaya nenek moyang yang sangat tua, yang
diperkirakan telah ada kurang lebih 3.500 tahun yang lalu.
Wayang
adalah sebuah wira carita yang pada intinya mengisahkan kepahlawanan para tokoh
yang berwatak baik menghadapi dan menumpas tokoh yang berbuat jahat. Wayang
yang telah melewati berbagai peristiwa sejarah dari generasi ke generasi
menunjukkan betapa budaya pewayangan telah melekat dan menjadi bagian hidup
bangsa Indonesia khususnya jawa.
Usia
yang demikian panjang, kenyataannya sampai sekarang masih digemari banyak
orang, ini menunjukkan bahwa wayang mempunyai nilai tinggi dan sangat berarti
bagi kehidupan masyarakat. Wayang yang cerita pokoknya bersumber dari buku
Ramayana dan Mahabarata berasal dari India.[3]
Pada
perkembangannya, wayang berulang kali mengalami perubahan, diantara
periodisasinya adalah:
1.
Zaman
Prasejarah
Pertunjukkan
wayang pada zaman ini semula digunakan untuk memuja arwah-arwah nenek moyang.
Bentuknya dari kulit yang menyerupai arwah nenek moyang dan lakon yang
dimainkan tentang kepahlawanan dan petualangan nenek moyang, di penteskan malam
hari di tempat keramat dengan menggunakan bahasa jawa murni.
2.
Zaman
Mataram Kuno
Fungsi wayang
kuno bertambah dari fungsi magik dengan fungsi alat pendidikan dan komunikasi.
Sumber ceritanya atau lakon ceritanya dari kitap Ramayana dan Mahabarata yang
diberi sifat lokal (mereka menganggap para dewa atau pahlawan sejajar dengan
nenek moyang mereka).
3.
Zaman
Jawa Timur
Pertunjukkan
wayang pada zaman ini sudah mencapai bentuk yang sempurna, sehingga dapat
mengharukan hati penonton. Bahasa yang dipakai adalah bahasa jawa kuno dengan
kata-kata sangsekerta.
4.
Zaman
kedatangan islam
Sejak masuknya
islam maka sarana kegiatan budaya jawa berupa wayang dianyam secara canggih
untuk memasukkan ajaran islam dengan kata lain digunakan sebagai media dakwah.
Cerita yang diambil dari cerita-cerita babad
yakni mencampur adukkan cerita Ramayana dengan ajaran-ajaran islam. Babad berupa prosa (gancaran) yang berisi riwayat dan sejarah seperti babad
tanah jawi, babad demak dan lain-lain.[4]
E. Beberapa Jenis Wayang dan Unsur-Unsur dalam Pertunjukan Wayang
Menurut jenis aktor dan aktrisnya, jenis
wayang digolongkan menjadi lima golongan, yakni:
a. Wayang kulit (pelaku yang muncul adalah boneka dua dimensi yang terbuat
dari kulit atau tulang belulang)
b. Wayang golek (pelaku yang muncul adalah boneka tiga dimensi yang terbuat
dari kayu)
c.
Wayang
wong atau wayang orang (pelaku yang muncul adalah orang)
d.
Wayang
beber (pelakunya hanya digambar diatas kertas lebar yang digulung dan dibeber
atau direntang)
Adapun beberapa unsur pelaksana dan alat dalam
pertunjukan wayang adalah:
a.
Dalang
adalah seniman utama dalam pertunjukkan wayang. Ia melaksanakan tugas untuk
menjalankan skenario atau lakon dalam pewayangan
b.
Niyaga
atau wiyaga adalah sebutan bagi para penabuh gamelan yang mengiringi
pertunjukkan wayang
c.
Pesinden
adalah seniwati yang mengiringi suara gamelan pada pagelaran wayang
d.
Wayang
kulit adalah wayang wayang yang terbuat dari belulang atau kulit kerbau atau
kulit lembu yang digunakan untuk memernkan suatu tokoh
e.
Panggung
dan kelir adalah layar yang ada didepan dalang yang lebarnya sekitar 160 cm
f.
Debog
adalah pohon pisang dibawah kelir yang direntang secara horizontal dan dipakai
untuk menancapkan wayang
g.
Blencong
adalah nama bagi lampu minyak kelapa yang digunakan dalam pertunjukkan wayang
h.
Kotak
adalah peti wayang yang terbuat dari kayu yang digunakan untuk menyimpan
berbagai peralatan, misalnya: wayang, kelir cempolo, kepyak, dll.
i.
Cempala
adalah sebuah alat yang terbuat dari kayu yang bentuknya silindris, yang
digunakan untuk mengetuk kotak yang ada disamping dalang
j.
Kepyak
adalah alat yang fungsinya hamper sama dengan cempala tetapi tempatnya sudah
menempel pada kotak
Wayang sebagai pertunjukan merupakan ungkapan dan
peragaan pengalaman religius yang merangkum bahwa wayang dan pewayangan
mengandung filsafat yang dalam dan dapat memberi peluang untuk melakukan
filsafati dan mistis sekaligus.[7]
F. Perpaduan Seni Islam dan Jawa (Wayang)
Ajaran islam yang masuk tanpa kekerasan dan
bersifat terbuka terhadap unsur-unsur kebudayaan lama yang telah ada mempengaruhi
wujud dalam seni yaitu pertunjukkan seni, khususnya wayang. Suatu hasil karya
cipta yang sarat akan simbolisme terdapat pada bentuk gunungan atau kayon, karya
tersebut merupakan hasil ciptaan sunan kalijaga pada tahun 1443 saka. Dibalik
kayon tersebut terlihat sunggingan yang menggambarkan api menyala. Ini
merupakan surya sangkala yang berbunyi “geni dadi sucineng jagad” yang
berarti geni (api) berwatak tiga, dadi (samudra) yang berwatak
empat, suci (air) yang berwatak empat, dan jagad berwatak satu.
Jadi angka-angka tersebut menunjukkan 3411. Sengkalan tersebut sebagai pertanda
bahwa kepandaian sunan kalijaga dalam memahami dan memasukkan nilai dalam seni
pewayangan, karena beliau mengartikan 3411 adalah penciptaan gunungan yang
dicetuskan beliau pada tahun 1443.
Selain hal diatas, para wali juga telah
merubah bentuk wayang yang semula sebelu islam masuk bentuk wayang menyerupai
manusia. Hal tersebut merupakan larangan dalam agama islam, maka beliau
berinisiatif mengubah bentuk wayang menjadi bentuk yang seperti sekarang.
Prof. K. MA. Machfoel telah menguraikan
tentang makna punakawan yaitu semar, petrok, gareng dan bagong. Keempat
figur diatas sama sekali tidak terdapat dalam buku ramayana dan mahabarata
yang menjadi sumber pewayangan aslinya. Munculnya figur ponakawan merupakan
hasil kreasi para mubaligh islam, mereka berpendapat punikawan berasal dari
bahasa arab.
“Semar” berasal dari kata “ismar”yang
berarti paku, yang berfungsi sebagai pengokoh yang goyah, ibarat ajaran islam
yang didakwahkan para walisongo diseluruh kerajaan majapahit yang pada waktu
itu sedang terjadi pergolakan dan berakhir didirikannya kerajaan demak. Ini
berarti islam adalah pengokoh keselamatan dunia.
“Gareng” berasal dari kata nara
korin yang berarti memperoleh banyak teman, ini disimbolkan bahwa walisongo
sebagai juru dakwah harus mempunyai tugas untuk mencari teman
sebanyak-banyaknya untuk kembali kejalan Allah.
“Petrok” berasal dari kata fatruk
yang berasal dari wejangan tasawuf yang berbunyi fat-ruk kulla ma siwallahiI,
yang artinya tinggalkan segala sesuatu selain Allah. Wejangan tersebut menjadi
watak para mubaligh pada waktu itu.
“Bagong” berasal dari kata baghaa”
yang artinya berontak yaitu berontak kepada kebatilan atau kemungkaran pada
waktu itu.
Ditinjau dari makna diatas, jelas
bahwa manusia memerlukan pamomong dalam perjalanan hidup untuk mendekatkan diri
kepada Allah berupa bimbingan yang berasal dari Allah juga. Manusia juga harus
menyadari bahwa dirinya itu adalah makhluk yang lemah dan memerlukan
perlindungan, tanpa bimbingan dari Allah manusia akan tersesat.
G. Interelasi islam dan jawa dalam wayang
Interelasi nilai dan islam dalam aspek wayang
merupakan salah satu bagian yang khas dari proses perkembangan budaya Jawa.
Wayang merupakan suatu prodak budaya manusia yang didalamnya tekandung seni
estetis. Wayang berfungsi sebagai tontonan dan tuntunan kehidaupan.
Bicara tentang esensi budaya jawa
dapat dirumuskan dalam satu kata wayang. Jadi mempelajari dan memahami wayang merupakan
syarat yang tan keno ora atau condotio sine quanon untuk
menyelami budaya Jawa. Baik etos jawa maupun pandangan hidup jawa, tergambar
dan teralin dalam wayang.
Antara
wayang dan budaya Jawa ibarat sekeping uang logam yang tak terpisahkan. Karena
bagi masyarakat Jawa wayang tidak hanya sekedar hiburan, tetapi juga sebagai
media pendidikan maupun media dakwah.
Wayang
mengandung makna lebih jauh dan mendalam karena mengungkapkan gambaran hidup
semesta (wewayange urip). Wayang dapat memberikan gambaran lakon
kehidupan umat manusia dengan segala masalahnya. Dalam dunia pewayangan
tersimpan nilai-nilai pandangan hidup jawa dalam menghadapi dan mengatasi segala
tantangan dalam kehidupan. Upaya untuk mencapai titik temu antara budaya jawa
dan islam, yaitu singkatan sengkalan (sangkakala) tanda zaman, yakni sirno/ilang
kertaning bumi yang dibaca terbalik yakni 1400 S atau 1478S.
Itulah
saat terjadinya peralihan kerajaan Majapahit ke kerajaan Demak, yang menurut
mitos ditandai dengan hilangnya sabda
palon. Mitos itu sesungguhnya mengandung makna simbolik perihal wawasan
kosmologis. Sabdo diartikan kata dan palon diartikan wilayah. Sehingga sabdo palon diartikan
konsep tentang ruang dan waktu. Perubahan Majapahit ke Demak membawa implikasi
baru yang lebih luas melalui hindu menuju islam. jimat kalimasada yang
bersal dari kata kali maha sada ditransformasikan menjadi kalimat
syahadat atau tradisi sekaten yang berasal dari kata Nyi sekati diubah
menjadi syahadataen. Sedangkan nilai-nilai spirit islam dalam di lihat dari dua
hal yaitu: simbolisme dalam wayang kulit dan tokoh-tokoh dalam wayang kulit.[8]
Kita semua mengetahui, bahwa bagi masyarakat
Jawa, wayang tidaklah hanya sekedar tontonan, tetapi juga tuntunan. Wayang
bukan sekedar sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai media komunikasi,
media penyuluhan dan media pendidikan. Oleh karena itu, melihat pertunjukan
wayang ataupun sekedar mendengarkan kaset rekaman wayang, tidak pernah
membosankan meskipun cerita atu lakonnya hanya itu-itu saja.[9]
Wayang mengajarkan filsafat laku yang
bersumber dari rasa dan hati nurani manusia yang paling dalam, sehingga ruang
humanisme semakin terbuka di dalamnya, manusia diupayakan untuk mencintai
seluruh makhluk yang ada di atas bumi ini. Karena manusia menjadi seorang
pengelola di atas bumi ini yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan semua
dengan baik.[10]
Wayang sekarang tidak hanya milik orang Jawa,
namun sudah menjadi kebanggan bangsa Indonesia. Untuk itu, kita patut menjaga
dan melestarikannya.
IV.
PENUTUP
Sastra merupakan suatu
kegiatan kreatif yang terkait dengan hal-hal yang tertulis maupun tercetak,
termasuk karya sastra lisan. Istilah sastra jawa secara praktis diartikan
sebagai suatu bentuk aktifitas tulis menulis dari para pujangga Jawa dalam
mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup budaya Jawa. Sastra bisa berbentuk puisi, prosa dan drama. Di antara
contoh karya sastra Jawa dengan metrum Islam adalah Mijil, Kinanthi,
Pucung, Sinom, Asmaradana, Dhandhanggula, Pangkur, Maskumambang, Durma, Gatruh,
dan Megatruh.
Wayang
adalah sebuah wira carita yang pada intinya mengisahkan kepahlawanan para tokoh
yang berwatak baik menghadapi dan menumpas tokoh yang berbuat jahat. Di antara jenis-jenis wayang adalah wayang
kulit, golek, wong, dan klitik. Ajaran islam yang masuk tanpa kekerasan dan
bersifat terbuka terhadap unsur-unsur kebudayaan lama yang telah ada
mempengaruhi wujud dalam seni yaitu seni pertunjukkan khususnya wayang.
DAFTAR PUSTAKA
Amrin Ra’uf, Jagad Wayang, Jogjakarta:
Garailmu, 2010
Budiono Herusatoto, Mitolog Jawa,
Depok: Oncor Semesta Ilmu, 2012
Darori Amin, dkk, Islam dan Budaya Jawa,
Yogyakarta:Gama Media, 2000
Dhanu Priyo Ptrabowo, Pengaruh Islam Dalam Karya-Karya R.Ng.
Ranggawarsita, Yogyakarta: NARASI, 2003
Edi Sedyawati, dkk, SejarahKebudayaan
Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Heniy Astiyanto, Filsafat Jawa: Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal, Yogyakarta:
Warta Pusaka 2006
Sujamto, Wayang
dan Budaya Jawa, Semarang; Dahara Prize, 1992
Tim Pangripta Basa Jawa, kawruh Basa Jawa,
Surakarta: Setiaki, 1999
BIODATA PEMAKALAH
1.
Nama : WISNU DENI KRESNAWATI
NIM : 103911060
Jurusan : PGMI
TTL : Pati, 6 Juni 1992
Alamat : Ds. Dukutalit Rt. 05/Rw.02
Juwana-Pati
Pendidikan
Ø SD :
SD N Dukutalit 02 Juwana
Ø SMP :
SMPN 02 Juwana
Ø SMA :
MA Mathali’ul Falah Juwana
Ø S1 :
IAIN Walisongo Semarang
No. Hp : 089 982 252 431
E-mail : Deni.kresnawati@yahoo.com
2.
Nama : NURUL HUSNA
NIM : 123111129
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
TTL : Rembang, 23 Desember 1994
Alamat : Ds. Gandrirojo, Sedan, Rembang
Pendidikan
Ø SD :
MI YSPIS Gandrirojo, Sedan, Rembang
Ø SMP :
MTs YSPIS Gandrirojo, Sedan, Rembang
Ø SMA :
MA YSPIS Gandrirojo, Sedan, Rembang
Ø S1 :
IAIN Walisongo Semarang
No. Hp : 089 857
074 50
E-mail : uyunknurulhusna@yahoo.com
3.
Nama : FATCHUL AMAR
NIM : 113211081
Jurusan : Pendidikan Bahasa Arab
TTL : Demak, 26 Oktober 1993
Alamat : Ds. Kenduren Rt. 06/Rw.03,
Wedung, Demak
Pendidikan
Ø SD :
MI NU Salafiyah Kenduren
Ø SMP :
MTs NU Salafiyah Kenduren
Ø SMA :
MA NU Salafiyah Kenduren NU Salafiyah
Ø S1 :
IAIN Walisongo Semarang
No. Hp : 085 740
641 064
E-mail : fatchulamar@yahoo.com
4.
Nama : Nur Faizah Rahmawati
NIM : 123311035
Jurusan : Pendidikan Bahasa Arab
TTL : Rembang, 18 Januari 1993
Alamat : Ds, Bonang – Lasem - Rembang
Pendidikan
Ø SD :
SD Bonang
Ø SMP :
MTs Raudlatul Ulum Guyangan
Ø SMA :
MA Raudlatul Ulum Guyangan
Ø S1 :
IAIN Walisongo Semarang
No. Hp : 085726 802
342
E-mail : faizah_nurrahma@yahoo.com
[2] Dhanu Priyo
Ptrabowo, Pengaruh Islam Dalam Karya-Karya R.Ng. Ranggawarsita, (Yogyakarta:
NARASI, 2003), hlm. 6
[3] Burhan Nugiantoro, Transformasi
Unsur Pewayangan Dalam Fiksi Indonesia, hlm. 24.
[5] Edi Sedyawati, dkk, SejarahKebudayaan Indonesia, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), hlm. 35-39.
[6] Tim Pangripta Basa Jawa, kawruh Basa Jawa, (Surakarta: Setiaki,
1999), hlm. 64.
[7] Heniy Astiyanto, Filsafat Jawa:
Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Warta Pusaka 2006), hlm.
364
[8] Darori Amin, dkk, Islam dan Budaya Jawa, hlm. 173.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking